2871 Rema : BELAJAR DARI SEMUT
Shalom Aleichem b'Shem Yeshua Ha Mashiach.
Tema renungan malam ini adalah:
*BELAJAR DARI SEMUT*
Diambil dari:
*Amsal 6:6* (TB) “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak”
Saudaraku yang dikasihi Tuhan Yesus,
Semut merupakan hewan kecil yang memiliki karakter layak dicontoh, misalnya rasa kesetiakawanan mereka yang tinggi, selalu berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan aroma tertentu yang menyatakan tempat makanan seolah saling menyapa satu dengan yang lain, rajin dan tidak mengenal lelah, serta memperhatikan aturan main di kelompoknya.
Rumah atau tepatnya sarang semut nun jauh di dalam tanah sana diatur sedemikian rupa sehingga ada tempat penyimpanan makanan, tempat meletakkan telur, ruang ventilasi, dan sebagainya. Bagaimana dengan pengaturan hidup kita manusia sebagai ciptaan yang sempurna ini?
Tentang rasa kesetiakawanan. Apakah kita sudah saling menyapa dengan tulus satu dengan yang lain? Apakah masih ada akar pahit yang mengganjal di dalam hati kita?
Mari lihat kawanan semut yang setiap kali bertemu semut lain selalu seolah saling menyapa, bersalaman, berciuman, dan kemudian jika ada aktivitas yang harus dilakukan bersama mereka pun melakukannya bersama-sama. Jika ada kesulitan, mereka seolah memberitahukan dan menyampaikan permintaan bantuan untuk bersama-sama mengusung bahan pangan yang beratnya atau besarnya adakalanya beberapa kali lipat badan mereka.
Lalu, mari kita cek peri kehidupan kita sendiri. Adakah kita pun tanggap atau peka untuk menolong meringankan beban sesama kita? Mari berintrospeksi diri, apakah kita sudah melayani sesama kita dengan (a) mau mendengar keluhan curhatan sesama, (b) memperhatikan keberadaan sesama kita, dan kemudian (c) membantunya walau sekadar untuk mendoakannya?
Jika semut rajin mengumpulkan makanannya di musim kemarau agar saat penghujan tiba tidak mengalami paceklik, bagaimana dengan kehidupan kita?
Apakah kita sudah mengumpulkan bekal pulang ke surga, yakni makanan rohani kita setiap saat agar jiwa kita tidak mengalami paceklik, kekosongan, atau bahkan kematian obor Kristus?
Mari kita bertanya kepada diri sendiri, lalu kita bersegera berbenah diri!
Jika rumah semut tertata sedemikian rupa, sudahkah kita menyediakan tempat untuk Tuhan Yesus bertahta di dalam hati dan hidup kita? Sudahkah kita mempersilakan Tuhan Yesus mengatur dan menata hidup kita melalui kepasrahan diri kita?
Ataukah kita masih menghalangi karya Allah bekerja dalam hidup kita karena kita masih menggunakan akal budi kita dan lupa bahwa Tuhan Yesuslah yang harusnya berotoritas dalam hidup ini?
Kita menyerahkan di dalam doa dan kita katakan, “Biarlah kehendak Tuhan Yesus yang terjadi dalam hidup kami!” Namun, kenyataannya kita masih memikir-mikirkan sendiri atau menawar-nawar dengan kehendak dan pikiran kita sendiri. Dengan demikian, meski kita di mulut mengatakan berserah, di hati dan tindakan kita masih menggunakan pola pikir kita sendiri, padahal kita tahu bahwa seringkali rancangan kita sangat bertentangan dengan rencana Allah.
Kali ini melalui penulis Amsal, Tuhan Yesus menegaskan dan tepatnya mendesak agar kita belajar dari kehidupan semut yang dianggap lebih bijak ini. Bukan hanya naluri mereka dalam mempersiapkan masa depan yang patut disimak, melainkan juga kegigihan dan tekad mereka. Ingat, seringkali mereka harus mengangkut atau dengan susah payah menyeret barang-barang yang beratnya dua kali lipat berat tubuh mereka atau lebih. Mereka melakukan apa saja untuk menunaikan tugas khusus mereka dan pantang mundur sekalipun mereka mungkin jatuh, tergelincir, atau terguling dari tempat terjal.
Dengan semangat kerja sama yang luar biasa, mereka sangat menjaga kebersihan sarang dan memiliki kepedulian kepada rekan-rekan sekerja, kadang-kadang menolong semut yang terluka atau kelelahan untuk kembali ke sarangnya.
Karakter pemalas terkadang sangat sesuai dengan ciri khas keberadaan kita, antara lain mudah menyerah oleh tekanan serta pergumulan yang berat, mudah mencari pihak-pihak yang disalahkan demi kepuasan pribadi, serta sering berdalih bahwa kegagalan kita disebabkan oleh kondisi kita manusia yang lemah dan berdosa (memaklumi diri). Tentunya ciri khas kita harus segera kita benahi, secepatnya kita bangkit dari keterpurukan, dan menjadikan kesetiaan kepada Sang Kristus menjadi pemicu untuk kita bangkit.
Mari kita belajar dari semut. Jika semut saja bisa, kita pun pasti bisa. Tuhan Yesus memberkati, amin.
*PD AUTOPIA MALANG*
Ninik SR
Tema renungan malam ini adalah:
*BELAJAR DARI SEMUT*
Diambil dari:
*Amsal 6:6* (TB) “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak”
Saudaraku yang dikasihi Tuhan Yesus,
Semut merupakan hewan kecil yang memiliki karakter layak dicontoh, misalnya rasa kesetiakawanan mereka yang tinggi, selalu berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan aroma tertentu yang menyatakan tempat makanan seolah saling menyapa satu dengan yang lain, rajin dan tidak mengenal lelah, serta memperhatikan aturan main di kelompoknya.
Rumah atau tepatnya sarang semut nun jauh di dalam tanah sana diatur sedemikian rupa sehingga ada tempat penyimpanan makanan, tempat meletakkan telur, ruang ventilasi, dan sebagainya. Bagaimana dengan pengaturan hidup kita manusia sebagai ciptaan yang sempurna ini?
Tentang rasa kesetiakawanan. Apakah kita sudah saling menyapa dengan tulus satu dengan yang lain? Apakah masih ada akar pahit yang mengganjal di dalam hati kita?
Mari lihat kawanan semut yang setiap kali bertemu semut lain selalu seolah saling menyapa, bersalaman, berciuman, dan kemudian jika ada aktivitas yang harus dilakukan bersama mereka pun melakukannya bersama-sama. Jika ada kesulitan, mereka seolah memberitahukan dan menyampaikan permintaan bantuan untuk bersama-sama mengusung bahan pangan yang beratnya atau besarnya adakalanya beberapa kali lipat badan mereka.
Lalu, mari kita cek peri kehidupan kita sendiri. Adakah kita pun tanggap atau peka untuk menolong meringankan beban sesama kita? Mari berintrospeksi diri, apakah kita sudah melayani sesama kita dengan (a) mau mendengar keluhan curhatan sesama, (b) memperhatikan keberadaan sesama kita, dan kemudian (c) membantunya walau sekadar untuk mendoakannya?
Jika semut rajin mengumpulkan makanannya di musim kemarau agar saat penghujan tiba tidak mengalami paceklik, bagaimana dengan kehidupan kita?
Apakah kita sudah mengumpulkan bekal pulang ke surga, yakni makanan rohani kita setiap saat agar jiwa kita tidak mengalami paceklik, kekosongan, atau bahkan kematian obor Kristus?
Mari kita bertanya kepada diri sendiri, lalu kita bersegera berbenah diri!
Jika rumah semut tertata sedemikian rupa, sudahkah kita menyediakan tempat untuk Tuhan Yesus bertahta di dalam hati dan hidup kita? Sudahkah kita mempersilakan Tuhan Yesus mengatur dan menata hidup kita melalui kepasrahan diri kita?
Ataukah kita masih menghalangi karya Allah bekerja dalam hidup kita karena kita masih menggunakan akal budi kita dan lupa bahwa Tuhan Yesuslah yang harusnya berotoritas dalam hidup ini?
Kita menyerahkan di dalam doa dan kita katakan, “Biarlah kehendak Tuhan Yesus yang terjadi dalam hidup kami!” Namun, kenyataannya kita masih memikir-mikirkan sendiri atau menawar-nawar dengan kehendak dan pikiran kita sendiri. Dengan demikian, meski kita di mulut mengatakan berserah, di hati dan tindakan kita masih menggunakan pola pikir kita sendiri, padahal kita tahu bahwa seringkali rancangan kita sangat bertentangan dengan rencana Allah.
Kali ini melalui penulis Amsal, Tuhan Yesus menegaskan dan tepatnya mendesak agar kita belajar dari kehidupan semut yang dianggap lebih bijak ini. Bukan hanya naluri mereka dalam mempersiapkan masa depan yang patut disimak, melainkan juga kegigihan dan tekad mereka. Ingat, seringkali mereka harus mengangkut atau dengan susah payah menyeret barang-barang yang beratnya dua kali lipat berat tubuh mereka atau lebih. Mereka melakukan apa saja untuk menunaikan tugas khusus mereka dan pantang mundur sekalipun mereka mungkin jatuh, tergelincir, atau terguling dari tempat terjal.
Dengan semangat kerja sama yang luar biasa, mereka sangat menjaga kebersihan sarang dan memiliki kepedulian kepada rekan-rekan sekerja, kadang-kadang menolong semut yang terluka atau kelelahan untuk kembali ke sarangnya.
Karakter pemalas terkadang sangat sesuai dengan ciri khas keberadaan kita, antara lain mudah menyerah oleh tekanan serta pergumulan yang berat, mudah mencari pihak-pihak yang disalahkan demi kepuasan pribadi, serta sering berdalih bahwa kegagalan kita disebabkan oleh kondisi kita manusia yang lemah dan berdosa (memaklumi diri). Tentunya ciri khas kita harus segera kita benahi, secepatnya kita bangkit dari keterpurukan, dan menjadikan kesetiaan kepada Sang Kristus menjadi pemicu untuk kita bangkit.
Mari kita belajar dari semut. Jika semut saja bisa, kita pun pasti bisa. Tuhan Yesus memberkati, amin.
*PD AUTOPIA MALANG*
Ninik SR
Komentar
Posting Komentar