34 Kesaksian: Merasakan Campur Tangan Allah

Shalom Aleichem be Shem Yeshua ha Mashiach!


Kalimat diatas mungkin tidak asing bagi Bapak/Ibu/Saudara karena kalimat diatas adalah tema natal gereja tahun 2015. Dan kami sekeluarga menjadi saksi hidup untuk itu. Sebab semua yang  kami alami sejak 26 Desember 2014 s.d. saat ini adalah  karya Allah Bapa di tengah-tengah keluarga kami.



Ibunda tercinta kami bernama lengkap Elisabeth Endang Susiani yang sering dikenal sering dengan sebutan “Ibu Endang-Sonny”. Seorang Ibu rumah tangga dan penjual nasi dan makanan ringan di kantin SLTPK Kolese Santo Yusup 2 Malang. Beliau sudah setia mengenal PD Autopia kurang lebih 30 tahun dan kami selalu ingat perkataan beliau “aku mesti budal nang Autopia masio kudu mrangkak” (aku akan selalu datang ke Autopia meskipun harus merangkak). Kesetiaan ini membawa kami sekeluarga dalam kesetiaan beribadah dan meletakkan iman, pengharapan, dan kasih yang bertumbuh pada PD Autopia dalam situasi apapun.

Berkat mukzijat yang boleh kami terima ini berawal dari perjalanan sepulang liburan Natal di Klaten dan Caruban, yang mana sebelum berangkat kami matur dulu apakah diperbolehkan Tuhan Yesus untuk berangkat, sebab kondisi Ibu sebenarnya sedang diare yang sudah berlangsung 3 hari, namun ijin dan berkat telah diberikan Bapa, maka kami berangkat menuju Klaten tanggal 24 Desember 2014. Selama di Klaten, Ibu tetap mengalami diare, setiap kali selesai makan langsung ke kamar mandi. Kami pun pulang ke Malang dan mampir sejenak di Caruban untuk mampir ke keluarga Lina (istri Hendra) dan sekalian menjemput Bapak Soni dan Andre yang menginap disana menemani Hendra yang baru membuka usaha. Hal yang sama terjadi ketika berada di Caruban. Semua tampak baik-baik saja.

Pada awal perjalanan, kami berlima (Bapak Soni, Ibu Endang, Iyus, Ira & Andre) pulang beriringan dan semua berjalan lancar. Pergumulan dimulai ketika di daerah Kertosono dimana Ibu mulai muntah, yang awalnya kami kira Ibu mabuk perjalanan darat, namun semakin lama jarak muntahnya semakin sering. Sesampainya di daerah Kasembon-Pare, hampir tiap menit Ibu muntah, kami akhirnya menghubungi Pak Wibisono minta sarana obat, lalu diberikan sarana obat Centrimoxacol dan Entrostop, kami berencana akan membelinya sesampainya di rumah. Namun, karena Ibu terus menerus muntah, kami mulai khawatir Ibu kehilangan banyak cairan, maka kami berhenti di Rest Area Ngantang untuk membeli degan. Akan tetapi setiap kali minum pasti dimuntahkan kembali, kami ganti dengan teh hangat, kembali dimuntahkan. Sepertinya tidak ada sesuatu yang bisa masuk ke tubuh. Ibu meminta untuk segera  melanjutkan perjalanan pulang, agar bisa cepat sampai rumah terus istirahat.

Dalam perjalanan, Ibu terus muntah tidak keruan, sampai di daerah Payung Batu, Ibu sudah tidak kuat dan minta dibawa ke Rumah Sakit RKZ. Kami memacu kendaraan ke arah Malang, sampai di daerah Batu kami terjebak macet total, kondisi Ibu juga semakin parah. Akhirnya, kami melihat ada Puskesmas 24 jam di Beji Batu, kami pun belok dan masuk Puskesmas tersebut, pikir kami Ibu baiknya mendapat pertolongan pertama entah infus atau obat lain sebelum kami lanjut ke Rumah Sakit RKZ Malang. Akan tetapi para perawat Puskesman angkat tangan, dan menganjurkan untuk di bawa ke rumah sakit. Disarankan untuk mencari rumah sakit yang dekat di sekitar Batu. Akhirnya, kami banting setir ke Batu mencari rumah sakit karena untuk terus ke Malang terlalu berisiko dikarenakan macet parah musim liburan dan hujan. Kembali kami menghubungi saudara di Autopia untuk meminta pertolongan; petunjuk dan doa. Oleh Bapa di surga lewat perantaraan Pak Wibisono, kami diarahkan ke Rumah Sakit Babtis.
Kami ingin menuruti dhawuh maka kami bawa Ibu ke Rumah Sakit Babtis, namun apa daya, realita berkata lain, sampai Pasar Batu kembali kami terjebak macet total, yang bisa bergerak hanya jalur kanan. Akhirnya karena akal budi, kami ikuti arus itu, walau kampas kopling mulai terbakar kami tetap jalan dan kami menemukan satu rumah sakit, yang awalnya kami anggap wujud pertolongan Bapa yang kedua sebab kondisi Ibu semakin parah namun kami tidak bisa mencapai Rumah Sakit Babtis yang dikehendaki-Nya, yakni  Rumah Sakit Paru Batu pada jam 19.30. Suatu perjalanan yang luar biasa dari Puskesmas Beji sampai Rumah Sakit Paru yang membutuhkan waktu lebih dari 1 jam dengan kondisi Ibu yang semakin menurun.

Ibu mulai mendapat perawatan intensif di UGD. Diagnosa awal gangguan lambung. Karena muntahan Ibu tak kunjung berakhir maka diminta cek lab; urine dan darah. Sambil menunggu hasil lab, Ibu diminta rawat inap. Kami masih ingin menuruti dhawuh yaitu menyerahkan perawatan Ibu ke Rumah Sakit Babtis, namun jalanan masih macet sehingga kembali akal budi kami memutuskan Ibu rawat inap di situ dengan perjanjian sewaktu-waktu dapat pulang paksa. Semakin lama kondisi Ibu semakin turun, alat infus, bantuan pernapasan, obat suntik hingga pemantau jantung dan paru-paru di pasang. Ibu mulai gelisah dan meronta-ronta dengan kondisi yang tidak nyaman tersebut sampai Ibu tidak sadarkan diri…

Kondisi Ibu yang tidak sadarkan diri (koma), tidak kami sadari, kami menganggap Ibu tertidur, jadi kami malah tenang, namun gerak-gerik perawat yang gelisah dan panik membuat kami bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Akhirnya, pada jam 01.00 dini hari kami mencari informasi, dan jawaban perawat mengejutkan kami “Mbak berdoa ya, kami sudah usaha.” “Lho, Ibu saya kenapa?” “Pihak keluarga belum diberitahu tentang sakitnya Ibu?“ “Kata dokter tadi infeksi lambung...” “Mbak, ini hasil cek lab nya Ibu, Kreatininnya 28 dan Ureum 400, jadi Ibu gagal ginjal Mbak.” Sebuah jawaban yang seperti meruntuhkan iman kami…

Kreatin dan Ureum adalah racun dalam tubuh manusia yang seharusnya keluar dari tubuh melalui kinerja organ ginjal. Kreatin manusia normal adalah <1.5 dan Ureum normal adalah 20-40. Jadi bias dibayangkan kadar racun dalam tubuh Ibu saat itu berpuluh-puluh dan berates-ratus kali lipat dan menjalar ke seluruh tubuh beliau yang akhirnya membuat beliau dalam kondisi kritis antara hidup dan mati.

Tanpa peduli waktu, kami menghubungi keluarga besar Autopia, Pak Edi dan Pak Wibisono. Dalam hujan tangis, kami meminta petunjuk dan doa. Kami ingat percakapan kami di telepon dengan beliau berdua. Dengan Pak Edi, “Kami semua sedang berdoa untuk Ibu, ayo pegang teguh iman kepada Yesus.“ Dengan Pak Wibisono,” Kan sudah dibilangi kalau di Batu bawalah Ibu ke Rumah Sakit Babtis, kalau di Malang ya RKZ, tapi keluarga kan tidak melakukannya, jadi ya terserah. Lalu kalau menunggu dokter spesialis, datangnya jam berapa? Tidak mungkin sekarang. Semua terserah keluarga.”  Kami sungguh berada dalam pergumulan iman, apalagi realita saat itu ketika kami nego dengan Rumah Sakit, 1) tentang pulang paksa, rumah sakit sebenarnya tidak mengijinkan karena Ibu baru saja mendapatkan suntikan pemacu jantung, jadi sangat riskan kalau harus dipindah rumah sakit, 2) tentang minta bantuan ambulance, rumah sakit memberi penjelasan kalau kita tidak ada ambulance yang bisa dipakai saat itu. Dan kami pun tidak mungkin membawa Ibu dengan kendaraan kami sendiri mengingat jalanan masih macet.

Kondisi Ibu semakin drop, tensi darah naik turun, tekanan jantung pun demikian. Hingga pada jam 03.00 dini hari, setelah kami berhasil menghubungi kembali Pak Wibisono, kami bersama berdoa mohon ampun kepada Bapa dan dengan penuh iman, “Pak Wibi, tolong sampaikan Tuhan Yesus kami mohon ampun, dan kami percaya kuat kuasa Bapa menyertai, Ibu saya akan selamat sampai RKZ, dan akan keluar dari RKZ dalam keadaan sehat bisa bermain kembali dengan anak cucu”. Jawaban Pak Wibis saat itu, “ Ya Dik, ayo berdoa dan beriman pada Yesus.”

Setelah itu kami mulai proses pulang paksa, diawali perdebatan dengan dokter dan penandatanganan surat pernyataan yang berisi dengan segala risiko pihak rumah sakit tidak mau bertanggungjawab karena keluarga sendiri yang mendesak untuk pasien dipindahkan. Proses administrasi dan persiapan pun tidak bisa cepat hingga jam 5.30 Ibu baru bisa keluar dari rumah sakit. Perjalanan ke RKZ cukup menegangkan karena berkejaran dengan waktu. Dan karena berkat Tuhan Yesus, Ibu akhirnya sampai juga di
RKZ. Perawat pun merasa tidak percaya kalau Ibu bisa berhasil sampai RKZ.

Perjalanan penempaan iman keluarga kami pun masih berlanjut, Ibu langsung masuk UGD, dengan cekatan tim dokter dan perawat bekerja. Hingga hasilnya didapat kondisi Ibu terkena komplikasi yang cukup parah, paru-paru sudah penuh dengan cairan, jantung membengkak dan ginjal mengecil dari ukurannya. Sehingga Ibu harus dirawat intensif di ruang ICCU, selama di ICCU ini Ibu menjalani masa kritis.

Ibu harus cuci darah untuk mengambil cairan yang menumpuk di sekitar paru paru dan jantung yang pertama kali dan hanya mampu dilewati selama 1 jam yang semestinya 5 jam karena tekanan darah yag tiba-tiba turun dan sangat berbahaya bila dilanjutkan. Ketika keluarga Autopia datang dan berdoa, Pak Gunawan memperoleh karunia penglihatan bahwa Ibu sudah dalam gendongan Tuhan Yesus. Tuhan Yesus yang menunggui Ibu di sana sedang Ibu berbicara dengan Tuhan Yesus dan Tuhan Yesus diam mendengarkan.

Besoknya, 28 Desember 2014, Ibu yang masih dalam kondisi koma harus cuci darah lagi dan hanya mampu 2 jam. Karena tidak bisa menjalani waktu 5 jam inilah kondisi Ibu semakin kritis karena cairan yang menghambat jalur pernafasan di paru-paru membat nafasnya sangat sulit walaupun sudah memakai alat bantuan pernafasan yg memakai bola karet hitam itu. Dokter pun memvonis, bila kondisi Ibu seperti ini terus tanpa perubahan maka harus dipasang alat bantu pernafasan yang biayanya 3 juta rupiah per hari (Haleluya, hal tersebut tidak sampai terjadi, sebab di persekutuan doa Tuhan Yesus berfirman percayalah, tidak usah pasang).

Tanggal 29 Desember 2014, Ibu kembali menjalani cuci darah dan dilakukan pada sore hari dan disini dokter mengatakan apapun kondisinya harus mampu 5 jam. Tetapi kembali Ibu tidak mampu, Ibu kembali dibawa ke ruang ICCU. Sahabat Persekutuan Doa Betlehem datang memberi bantuan materiil dan moril. Kami diajari oleh Pak Anton dan Bu Ninis, cara berdoa untuk menembus kaca ICCU, meminta belas kasih Bapa untuk kesembuhan Ibu…

Sekitar pukul 23.00, dokter yang menangani Ibu pun datang untuk memeriksa kondisi ibu. Setelah itu, dokter mengumpulkan keluarga mengatakan bahwa kondisi Ibu sudah sangat memprihatinkan, komplikasi sudah menjalar ke seluruh tubuh bahkan otak pun terserang. Kalaupun masih mampu hidup, Ibu akan terkena lumpuh atau stroke  parah dan alangkah baiknya saudara-saudara lainnya mulai dihubungi untuk siap-siap kalau kondisi terburuk terjadi. Karena dokter dan tim medis sudah berusaha sekuat tenaga dan obat-obatan pun telah diberikan yang terbaik, tapi apa daya kondisi Ibu sangat lemah dan parah. Itulah yang disampaikan dokter pada kami.

Disinilah kami semakin dekat dengan Tuhan Yesus menyerahkan keberadaan ibu, dan sungguh MUKJIZAT ITU MASIH ADA.  Mujizat Tuhan Yesus terjadi.

Melewati tengah malam badan Ibu mulai bergerak-gerak, kamipun sempat mengintip dari balik korden terlihat tensi dan pernapasan Ibu mulai stabil sampai pagi hari.

Di saat pagi dokter datang dan melihat kondisi Ibu yang demikian, dokter terkejut dan tak percaya melihat hal ini. Dan berkata ini adalah mukjizat. Lantas dokter menyuruh perawat, jika nanti sampai siang kondisi Ibu stabil, bisa langsung di bawa keluar dari ICCU dan di pindah di kamar inap biasa. Akhirnya siang itu, Ibu dipindahkan ke ruangan meskiun kondisi beliau masih tidak sadar. Kamipun melihat Ibu yang dibawa oleh para perawat, Ibu terus bergerak gerak badannya terlihat segar, matanya pun mulai melihat-lihat walaupun belum sadar seperti orang yang hilang ingatan tapi masih sangat lemah tapi berusaha membuka mata yang terlihat berselaput. Perawat mengatakan untuk tidak berharap kesadaran Ibu cepat pulih, masih panjang prosesnya jika ingin Ibu bisa seperti orang yang normal.

Setelah dipindahkan ke kamar, Ibu kembali harus cuci darah dan Ibu mampu melewatinya selama 5 jam sehingga racun dalam tubuh dapat sedikit berkurang meskipun masih dalam kadar yang berpuluh kali lipat dari batas yang mampu ditahan manusia biasa. Semakin lama kondisi Ibu semakin baik dan di hari ke lima Ibu mulai sadar! Mukjizat kembali terjadi, Ibu bisa langsung berbincang seperti orang normal dan tidak kehilangan satu memori pun dalam dirinya, beliau hanya tidak tahu apa yang terjadi sejak beliau tidak sadarkan diri. Kesadaran dan kesehatan Ibu semakin membaik dan akhirnya pada tanggal 6 Januari 2015 Ibu kami pun boleh pulang.

Kami sekeluarga mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yesus dan saudara saudara semua yang telah berkenan membantu kami baik lewat doa maupun bantuan lainnya. Semoga dengan peristiwa ini bisa menguatkan iman kita semua. Doa kami terjawab, Ibu kami sekarang masih diperkenan bermain dengan anak cucunya dan memberikan nasehat dan pertimbangan sebagai seorang Ibu yang baik. Setiap senyuman beliau dan ekspresi marah-marah beliau selalu menjadi tanda untuk kami mengucap syukur dan pujian kepada Sang Pemilik Hidup TUHAN YESUS KRISTUS.

Ibu Endang sekarang masih bekerja di kantin meskipun hanya duduk dan mengawasi Pak Soni, suaminya yang berjualan. Beliau masih menjalani cuci darah Hemodialisa di RKZ Malang 2 kali dalam seminggu setiap hari Rabu dan Sabtu jam 12.00 hingga 17.00 dan sangat senang bercerita kepada pasien-pasien lain bagaimana beliau mengalami peristiwa iman yang begitu dahsyatnya untuk membangun iman, pengharapan dan kasih keluarga kami. Bagi para pembaca yang ingin bersua dan mendengar langsung kisah hidup ini silahkan bertemu Mama kami yang selalu tersenyum di kantin SLTPK Kolese Santo Yusup 2 Malang atau mengunjungi kami di RKZ.
Dan akhirnya Tuhan Yesus memberkati Bapak, Ibu dan Saudara semua.

“tetapi syukurlah Aku tidak hadir pada waktu itu, sebab demikian lebih baik bagimu, supaya kamu dapat belajar percaya…” (Yohanes 11: 15)
Haleluya. Amin! (4ndr145)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

775 Regi: Kemurahan Allah Lebih Dari Hidup

2083 Rema: Hanya Yesus Jawaban Hidupku

2334 Rema: PERBEDAAN ORANG FASIK DAN ORANG BENAR